Kasus pelecehan seksual oleh aparatur sipil negara (ASN) Semarang ramai dibahas, karena keberanian korban bicara justru disambut hujatan dan stigma publik.

Fenomena ini menimbulkan keprihatinan mendalam, terutama dari lembaga seperti LRC-KJHAM, yang menilai sikap publik tersebut justru membuat korban lain enggan melapor.
Melalui artikel Info Kejadian Semarang ini, akan diulas secara menyeluruh kasus yang terjadi, respons masyarakat, dampak psikologis pada korban, peran LRC-KJHAM, hingga pentingnya membangun sistem perlindungan yang adil bagi korban pelecehan.
Kronologi Kasus ASN Semarang
Kasus dugaan pelecehan seksual ini bermula dari pengakuan seorang perempuan muda, berinisial U (19), melalui sebuah video yang diunggah di media sosial dan dengan cepat menjadi viral. U mengaku bertemu dengan pelaku, seorang ASN di lingkungan Pemkot Semarang, setelah berkenalan melalui aplikasi pertemanan.
Dalam pertemuan tersebut, U dan rekannya W diduga mengalami pelecehan baik di dalam mobil maupun saat berada di ruang karaoke. Tindakan pelaku tidak hanya menimbulkan ketakutan dan trauma, tetapi juga mendorong korban untuk memberanikan diri melapor ke pihak berwajib.
Viralnya pengakuan U di media sosial menarik perhatian publik dan aparat, hingga akhirnya ASN berinisial A (30) tersebut dilaporkan ke Polrestabes Semarang untuk diproses lebih lanjut. Pemerintah Kota Semarang pun menyatakan akan memberikan sanksi tegas jika terbukti bersalah, dan proses pemeriksaan kepegawaian terhadap pelaku masih terus berlangsung.
Hujatan dan Stigma
Alih-alih mendapatkan dukungan, U justru menerima gelombang hujatan dan stigma dari sebagian pengguna media sosial setelah kisahnya terungkap. Banyak komentar yang menyalahkan korban, mempertanyakan keputusan dan keberanian U speak up, serta mempertentangkan motif pelaporan tersebut.
Sikap victim blaming ini menambah luka dan beban psikologis terhadap korban, yang sejatinya sudah berada dalam situasi sulit. Menurut Direktur LRC-KJHAM, Witi Muntari, fenomena menyalahkan korban adalah alasan utama banyak korban pelecehan enggan mengungkapkan pengalaman pahitnya.
Ketika korban sudah cukup berani untuk speak up, justru publik sering kali merespons secara negatif, sehingga membuat mereka semakin terpojok. Stigma dan cibiran semacam ini bukan hanya memperburuk kondisi korban, tetapi juga memperkuat budaya diam di sekitar kasus kekerasan seksual.
Dampak Psikologis dan Sosial pada Korban
Beban ganda yang dialami oleh korban tidak hanya berasal dari peristiwa pelecehan itu sendiri, melainkan juga dari reaksi publik yang diwarnai penilaian negatif. Beberapa dampak psikologis yang sering dialami korban antara lain:
- Trauma berkepanjangan
- Rasa malu dan rendah diri
- Ketakutan menghadapi lingkungan sosial
- Keraguan untuk mencari keadilan
Reaksi negatif masyarakat, terutama di media sosial, memperdalam luka tersebut dan menambah tantangan bagi korban untuk pulih. Ketakutan akan hujatan membuat banyak korban potensial memilih diam atau bahkan mencabut laporan demi menghindari tekanan mental yang lebih berat.
Baca Juga: PT Naga Baladika Gelar Pesta Rakyat dan Bagikan Sembako di Semarang
Sikap Tegas LRC-KJHAM dan Dorongan Perubahan

LRC-KJHAM (Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia) menyoroti dengan tegas respons buruk masyarakat terhadap korban. Menurut LRC-KJHAM, setiap korban yang berani speak up semestinya didukung karena proses tersebut tidaklah mudah.
LRC-KJHAM menilai penyalahgunaan peran masyarakat dan media sosial dalam menanggapi kasus ini telah memperburuk situasi dan membahayakan upaya penegakan keadilan bagi korban kekerasan seksual.
LRC-KJHAM juga mendorong pentingnya edukasi masyarakat agar lebih memahami konsep victim blaming dan pentingnya memberikan ruang aman bagi korban. “Padahal ketika korban sudah sampai pada titik berani bicara, itu bukan hal mudah. Mestinya kita beri dukungan, bukan malah menghakimi,” tegas Witi Muntari.
Urgensi Reformasi Perlindungan Korban & Harapan Ke Depan
Kasus pelecehan ASN Semarang ini mencerminkan persoalan struktural yang belum tuntas, baik dari sisi sistem hukum maupun budaya sosial. Masyarakat masih cenderung menyalahkan korban, sementara proses penanganan terhadap pelaku masih membutuhkan waktu dan kepastian hukum. Untuk itu, beberapa langkah yang harus dilakukan, antara lain:
- Penguatan perlindungan hukum kepada korban pelecehan, termasuk pendampingan hukum dan psikologis secara menyeluruh.
- Sosialisasi dan edukasi publik terkait bahaya victim blaming dan pentingnya empati terhadap korban.
- Penegakan sanksi tegas kepada pelaku, tanpa kompromi terhadap status atau jabatan yang dimiliki.
- Pemberdayaan komunitas dan lembaga pendamping seperti LRC-KJHAM untuk memberi ruang aman bagi korban speak up.
Kesimpulan
Diperlukan komitmen bersama dari pemerintah, institusi hukum, media, dan masyarakat untuk mengakhiri siklus pelecehan dan hujatan terhadap korban. Jika budaya mendukung korban bisa ditanamkan, keadilan dan pemulihan bagi penyintas kekerasan seksual akan lebih mudah dicapai.
Penting bagi kita sebagai masyarakat untuk menumbuhkan empati dan mengedepankan prinsip keadilan, bukan menjatuhkan korban yang sudah berani bicara. Hanya dengan budaya yang inklusif dan suportif, korban pelecehan seksual dapat memperoleh hak dan perlindungan secara berkeadilan, dan tidak ada lagi yang takut untuk melapor ketika mengalami kekerasan serupa.
Simak dan ikuti terus Info Kejadian Semarang agar Anda tidak ketinggalan informasi menarik lainnya yang terupdate setiap hari.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar dari regional.espos.id