Terseret kasus Demo May Day empat mahasiswa dari Semarang kini menjadi sorotan setelah ditetapkan sebagai tersangka buntut aksi unjuk rasa memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day 2025.

Bukan hanya soal tuntutan buruh atau orasi yang menggema, tapi soal penangkapan yang menimbulkan perdebatan empat mahasiswa ditetapkan sebagai tersangka, dan kini mereka menggugat balik lewat jalur praperadilan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah suara mahasiswa dianggap ancaman? Atau justru ini bagian dari dinamika demokrasi yang sedang diuji di ruang pengadilan Info Kejadian Semarang?
Kronologi Singkat Kejadian
Tepat pada 1 Mei 2025, sekelompok massa dari berbagai elemen buruh, aktivis, dan mahasiswa menggelar aksi di Semarang untuk memperingati Hari Buruh Internasional. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aksi ini diwarnai dengan tuntutan terhadap kesejahteraan pekerja, sistem upah layak, serta penghapusan sistem kerja kontrak yang dianggap merugikan kaum buruh.
Namun, di tengah berlangsungnya aksi, terjadi kericuhan yang kemudian menjadi sorotan. Aparat menyebut adanya aksi anarkis berupa pelemparan dan perusakan fasilitas umum. Empat mahasiswa dari universitas berbeda ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dituduh terlibat dalam aksi penghasutan dan perusakan.
Langkah itu langsung menuai gelombang reaksi. Alih-alih diam, keempat mahasiswa tersebut justru menggugat penetapan status tersangka mereka dengan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Semarang.
Mengapa Praperadilan?
Banyak pihak bertanya, kenapa praperadilan? Jawabannya sederhana tapi penting: karena mereka merasa status tersangka yang disematkan tidak punya dasar hukum yang kuat.
Tim kuasa hukum dari Aliansi Advokat Rakyat menyebutkan bahwa proses penangkapan hingga penetapan status tersangka penuh kejanggalan. Tidak ada surat penangkapan yang jelas, tidak ada pemeriksaan saksi independen, dan barang bukti yang ditampilkan dianggap tidak relevan.
Salah satu kuasa hukum mengatakan, “Apa yang dilakukan ini bukan soal mencari celah hukum, tapi bagian dari menjaga demokrasi. Kalau mahasiswa bisa ditetapkan tersangka hanya karena ikut aksi damai, maka ke depan, siapa pun bisa mengalami hal serupa.”
Baca Juga: Polisi Ungkap Motif Kasus Pembunuhan Perempuan di Hotel Semarang!
Lebih Dari Sekadar Kasus Hukum

Aksi May Day Semarang tahun ini telah berubah wujud. Ia bukan lagi hanya soal upah layak atau kontrak kerja, tapi juga menyangkut ruang berekspresi dan hak atas kebebasan bersuara. Empat mahasiswa yang kini berada di tengah pusaran hukum bukan hanya pembawa spanduk di jalan, tetapi representasi dari generasi yang tak takut bersuara.
Praperadilan ini bukan akhir, tapi mungkin awal dari diskusi lebih besar tentang relasi negara, hukum, dan hak rakyat. Apakah kita benar-benar hidup dalam sistem demokrasi yang sehat, atau justru berada di tengah ruang yang perlahan-lahan membungkam mereka yang berbeda suara?
Satu hal yang pasti saat suara-suara muda berani menggugat lewat jalur hukum, itu bukan bentuk perlawanan, tapi justru cermin bahwa mereka percaya pada hukum. Sekarang, tinggal apakah hukum bisa dipercaya kembali oleh mereka.
Menanti Putusan Pengadilan
Saat ini, sidang praperadilan tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Semarang. Pihak mahasiswa berharap hakim akan memutuskan bahwa penetapan tersangka itu cacat hukum dan membatalkannya.
Di sisi lain, masyarakat sipil memandang bahwa proses ini bisa menjadi batu ujian penting bagi penegakan hukum di Indonesia. Jika pengadilan berpihak pada keadilan dan fakta, maka bisa jadi ini akan menjadi preseden yang positif untuk perlindungan hak konstitusional warga negara.
Namun, jika gugatan ini ditolak tanpa pertimbangan yang memadai, kekhawatiran akan bangkitnya represi terhadap suara-suara kritis bisa menjadi nyata.
Kesimpulan
Kasus ini bukan hanya jadi isu hukum, tapi juga mengguncang dunia kampus. Sejumlah rektorat dan organisasi mahasiswa dari berbagai universitas di Jawa Tengah menyatakan keprihatinan. Mereka menilai bahwa langkah hukum terhadap mahasiswa yang ikut aksi bisa menciptakan efek jera dan membungkam kebebasan berekspresi di kalangan muda.
Solidaritas pun mengalir. Mulai dari gelaran diskusi publik, petisi online, hingga aksi simbolik di kampus-kampus. Dalam salah satu aksi solidaritas di Semarang, spanduk besar bertuliskan “Bersuara Bukan Tindak Kriminal” dibentangkan di depan gedung rektorat.
“Kalau bersuara saja dipidanakan, apa yang tersisa dari demokrasi kita?” tanya seorang mahasiswa dalam orasinya. Suara ini menggaung, tidak hanya di kalangan aktivis, tapi juga masyarakat sipil yang resah melihat kriminalisasi terhadap gerakan mahasiswa.
Untuk informasi terbaru dan lengkap mengenai berbagai kejadian penting di Semarang. Termasuk perkembangan infrastruktur, kasus kriminal, dan aktivitas masyarakat, kalian bisa kunjungi Info Kejadian Semarang.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari www.detik.com
- Gambar Kedua dari semarang.viva.co.id